Saturday, October 25, 2014

Umamah Bintu Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anha


 
Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran

Bagaimana takkan bahagia merasakan kasih sayang seorang yang begitu mulia, menjadi panutan seluruh manusia. Kisah buaian sang kakek dalam shalat menyisakan faedah besar bagi kaum muslimin di seluruh dunia.

Zainab, putri sulung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disunting pemuda Quraisy, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya. AllahSubhanahu wa Ta’ala menganugerahi mereka dua orang anak, Umamah dan ‘Ali.

Sepanjang masa kecilnya, Umamah bin Abil ‘Ash benar-benar merasakan kasih sayang sang kakek, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga suatu kali, para shahabat tengah duduk di depan pintu rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata beliau muncul dari pintu rumahnya sembari menggendong Umamah kecil. Beliau shalat sementara Umamah tetap dalam gendongannya. Jika beliau ruku’, beliau letakkan Umamah. Bila beliau bangkit, beliau angkat kembali Umamah. Begitu seterusnya hingga beliau menyelesaikan shalatnya.

Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapatkan hadiah. Di antaranya berupa seuntai kalung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memungutnya. “Aku akan memberikan kalung ini pada seseorang yang paling kucintai di antara keluargaku,” kata beliau waktu itu. Para istri beliau pun saling berbisik, yang akan memperoleh kalung itu pastilah ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha.

Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Umamah, sang cucu. Beliau pakaikan kalung itu di leher Umamah. “Berhiaslah dengan ini, wahai putriku!” kata beliau. Lalu beliau usap kotoran yang ada di hidung Umamah.

Ketika Abul ‘Ash meninggal, dia wasiatkan Umamah pada Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Tahun terus berganti. Pada masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu meminang Umamah. Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu pun menikahkan ‘Ali dengan Umamah. Namun dalam pernikahan ini Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan seorang anak pun kepada mereka.

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah meminta Al-Mughirah bin Naufal Al-Harits bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi radhiyallahu ‘anhu agar bersedia menikah dengan Umamah bila dia telah wafat. ‘Ali pun berpesan pula kepada Umamah, bila dia meninggal nanti, dia ridha jika Umamah menikah dengan Al-Mughirah.

Subuh hari, 17 Ramadhan, 40 tahun setelah hijrah. Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan Umamah harus berpisah dengan suaminya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, terbunuh oleh seorang Khawarij bernama ‘Abdurrahman ibnu Muljam dengan tikaman pedangnya.

Selesai masa iddahnya, Umamah mendapatkan pinangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhuma. Umamah pun segera mengutus seseorang untuk memberitahukan hal ini kepada Al-Mughirah bin Naufal. “Kalau engkau mau, kau serahkan urusan ini padaku,” jawab Al-Mughirah. Umamah pun mengiyakan. Lalu Al-Mughirah meminang Umamah pada Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhuma yang kemudian menikahkan Al-Mughirah dengan Umamah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan pada mereka seorang anak, Yahya ibnul Mughirah namanya. Namun tidak lama hidup bersisian dengan Al-Mughirah, Umamah bintu Abil ’Ash meninggal di masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhuma.

Umamah bintu Abil ‘Ash, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=605

Surat An-Nisa’, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita


Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?

Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahidrahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

Dalam hadits shahih disebutkan:

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammenerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

2. Dijaganya hak perempuan yatim.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman AllahSubhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka AllahSubhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:

وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahimrahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.”(An-Nisa`: 19)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote:

1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Niswah, hal. 80-85. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=617)

Friday, October 24, 2014

Mengenal Syariat Islam (Bagian 1)


 
Arti Syariat

Syari’at bisa disebut syir’ah. Artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah.

Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.

Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].

“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].

Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.

Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti, ” maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani sayyidinaa muhammadin ‘alaihi afdhalush shalaati was salaami sawaa-un akaana bil qur-ani am bisunnati rasuulillahi min qaulin au fi’lin au taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam adalah hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.

Terkadang syari’ah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi, maknanya umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aammi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan khusus).

Pembagian Syari’at Islam

Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.

2. Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.

3. Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut Qanun (undang-undang).

Definisi Fiqh Islam

Fiqh menurut bahasa adalah tahu atau paham sesuatu. Hal ini seperti yang bermaktub dalam surat An-Nisa (4) ayat 78, “Maka mengapa orang-orang itu (munafikin) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (pelajaran dan nasihat yang diberikan).”

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka Allah akan memahamkannya di dalam perkara agama.”

Kata Faqiih adalah sebutan untuk seseorang yang mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, hukum-hukum tersebut diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.

Fiqh Islam menurut istilah adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum Allah atas perbuatan orang-orang mukallaf, hukum itu wajib atau haram dan sebagainya. Tujuannya supaya dapat dibedakan antara wajib, haram, atau boleh dikerjakan.

Ilmu Fiqh adalah diambil dengan jalan ijtihad. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menulis, Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah, di dalam perbuatan-perbuatan orang mukallaf (yang dibebani hukum) seperti wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah. Hukum-hukum itu diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah serta dari sumber-sumber dalil lain yang ditetapkan Allah swt. Apabila hukum-hukum tersebut dikeluarkan dari dali-dalil tersebut, maka disebut Fiqh.

Para ulama salaf (terdahulu) dalam mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil di atas hasilnya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini adalah suatu keharusan. Sebab, pada umumnya dalil-dalil adalah dari nash (teks dasar) berbahasa Arab yang lafazh-lafazhnya (kata-katanya) menunjukkan kepada arti yang diperselisihkan di antara mereka.

Fiqh Islam terbagi menjadi enam bagian:
1. Bagian Ibadah, yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang dipakai untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan untuk mengagungkan kebesaran-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.
2. Bagian Ahwal Syakhshiyah (al-ahwaalu asy-syakhsyiyyatu), yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan pembentukan dan pengaturan keluarga dan segala akibat-akibatnya, seperti perkawinan, mahar, nafkah, perceraian (talak-rujuk), iddah, hadhanah (pemeliharaan anak), radha’ah (menyusui), warisan, dan lain-lain. Oleh kebanyakan para mujtahidin, bagian kedua ini dimasukkan ke dalam bagian mu’amalah.
3. Bagian Mu’amalah (hukum perdata), yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur harta benda hak milik, akad (kontrak atau perjanjian), kerjasama sesama orang seperti jual-beli, sewa menyewa (ijarah), gadai (rahan), perkonsian (syirkah), dan lain-lain yang mengatur urusan harga benda seseorang, kelompok, dan segala sangkut-pautnya seperti hak dan kekuasaan.
4. Bagian Hudud dan Ta’zir (hukum pidana), yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan kejahatan, pelanggaran, dan akibat-akibat hukumnya.
5. Bagian Murafa’at (hukum acara), yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur cara mengajukan perkara, perselisihan, penuntutan, dan cara-cara penetapkan suatu tuntutan yang dapat diterima, dan cara-cara yang dapat melindungi hak-hak seseorang.
6. Bagian Sirra wa Maghazi (hukum perang), yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur peperangan antar bangsa, mengatur perdamaian, piagam perjanjian, dokumen-dokumen dan hubungan-hubungan umat Islam dengan umat bukan Islam.

Jadi, Fiqh Islam adalah konsepsi-konsepsi yang diperlukan oleh umat Islam untuk mengatur kepentingan hidup mereka dalam segala segi, memberikan dasar-dasar terhadap tata administrasi, perdagangan, politik, dan peradaban. Artinya, Islam memang bukan hanya akidah keagamaan semata-mata, tapi akidah dan syariat, agama dan negara, yang berlaku sepanjang masa dan sembarang tempat.

Dalam Al-Qur’an ada 140 ayat yang secara khusus memuat hukum-hukum tentang ibadah, 70 ayat tentang ahwal syakhshiyah, 70 ayat tentang muamalah, 30 ayat tentang uqubah (hukuman), dan 20 ayat tentang murafa’at. Juga ada ayat-ayat yang membahas hubungan politik antara negara Islam dengan yang bukan Islam. Selain Al-Qur’an, keenam tema hukum tersebut di atas juga diterangkan lewat hadits-hadits Nabi. Sebagian hadits menguatkan peraturan-peraturan yang ada dalam ayat-ayat Al-Qur’an, sebagian ada yang memerinci karena Al-Qur’an hanya menyebutkan secara global, dan sebagian lagi menyebutkan suatu hukum yang tidak disebutkan dala mAl-Qur’an. Maka, fungsi hadits adalah sebagai keterangan dan penjelasan terhadap nash-nash (teks) Al-Qur’an yang dapat memenuhi kebutuhan (kepastian hukun) kaum muslimin.

Hukum Syara’

Hukum syara’ adalah “maa tsabata bi khithaabillahil muwajjahi ilaal ‘ibaadi ‘alaa sabiilith thalabi awit takhyiiri awil wadh’i”. Maksudnya, sesuatu yang telah ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan kepada manusia, yang penetapannya dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan (takhyir), atau wadha’.

Contoh hukum syara’, perintah langsung Allah swt., “Tegakkahlah shalat dan berikanlah zakat!” [QS. Al-Muzzamil (73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan cara tuntutan keharusan yang menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan zakat.

Firman Allah swt., “Dan janganlah kamu mendekati zina!” [QS. Al-Isra' (17): 32]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum haram berbuat zina.

Firman Allah swt., “Dan apabila kamu telah bertahallul (bercukur), maka berburulah.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum syara’ boleh berburu sesudah tahallul (lepas dari ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat berburu atau tidak.

Yang dimaksud dengan wadha’ adalah sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau menjadi pencegah terhadap yang lain. Misalnya, perintah Allah swt. “Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah (5): 38]. Ayat ini menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum potong tangan.

Bersabda Rasulullah saw., “Allah swt. tidak menerima shalat yang tidak dengan bersuci.” Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci adalah dijadikan syarat untuk shalat.

Contoh yang lain, sabda Rasulullah saw., “Pembunuh tidak bisa mewarisi sesuatu.” Hadits ini menunjukkan bahwa pembunuhan adalah pencegah seorang pembunuh mewarisi harta benda si terbunuh.

Dari keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.

Hukum taklifi adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau tuntutan untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan.

Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103], “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Al-Imran (3): 97].

Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: “Janganlah di antara kamu mengolok-olok kaum yang lain.” [QS. Al-Hujurat (49): 11], “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi.” [QS. Al-Maidah (5): 3].

Contoh hukum yang menunjukkan boleh pilih (mudah): “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi.” [QS. Al-Jumu'ah (62): 10], “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat.” [QS. An-Nisa' (4): 101].

Hukum wadh’i adalah yang menunjukkan bahwa sesutu telah dijadikan sebab, syarat, dan mani’ (pencegah) untuk suatu perkara.

Contoh sebab: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu.

Contoh syarat: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3): 97]. Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.

Contoh mani’ (pencegah): Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini menunjukkan bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah terhadap perbuatan yang sah.

Hukum taklifi terbagi menjadi dua, yaitu azimah dan rukhshah. Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur. Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir. Sedangkan rukhshah adalah suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir.

Azimah meliputi berbagai macam hukum, yaitu:

1. Wajib. Suatu perbuatan yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukum perbuatan ini harus dikerjakan. Bagi yang mengerjakan mendapat pahala dan bagi yang meninggalkan mendapat siksa. Contohnya, puasa Ramadhan adalah wajib. Sebab, nash yang dipakai untuk menuntut perbuatan ini adalah menunjukkan keharusan. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” [QS. Al-Baqarah (2): 183]

2. Haram. Haram adalah sesutu yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) untuk ditinggalkan dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukumnya bila dikerjakan adalah batal dan yang mengerjakannya mendapat siksa. Contohnya, tuntutan meninggalkan berzina, tuntutan meninggalkan makan bangkai, darah, dan daging babi.

3. Mandub (sunnah). Mandub adalah mengutamakan untuk dikerjakan daripada ditinggalkan, tanpa ada keharusan. Yang mengerjakannya mendapat pahala, yang meninggalkannya tidak mendapat siksa, sekalipun ada celaan. Mandub biasa disebut sunnah, baik sunnah muakkadah (yang dikuatkan) atau ghairu (tidak) muakkadah (mustahab).

4. Makruh. Makruh adalah mengutamakan ditinggalkan daripada dikerjakan, dengan tidak ada unsur keharusan. Misalnya, terlarang shalat di tengah jalan. Yang melaksanakannya tidak mendapat dosa sekalipun terkadang mendapat celaan.

5. Mubah. Mubah adalah si mukallaf dibolehkan memilih (oleh Allah swt.) antara mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, dalam arti salah satu tidak ada yang diutamakan. Misalnya, firman Allah swt. “Dan makan dan minumlah kamu sekalian.” Tegasnya, tidak ada pahala, tidak ada siksa, dan tidak ada celaan atas berbuat atau meninggalkan perbuatan yang dimubahkan.

Apabila Allah swt. menuntut kepada seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu perbuatan lalu perbuatan tersebut dikerjakannya sesuai dengan yang dituntut darinya dengan terpenuhi syarat rukunnya, maka perbuatan tersebut disebut shahih. Tetapi apabila salah satu syarat atau rukunnya rusak, maka perbuatan tersebut disebut ghairush shahiih.

Ash-shahiih adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mempunyai urutan akibatnya. Contohnya, bisa seorang mukallaf mengerjakan shalat dengan sempurna, terpenuhi syarat rukunnya, maka baginya telah gugur kewajiban dan tanggungannya.

Ghairush-shahiih adalah sesuatu yang dilakukannya tidak mempunya urutan akibat-akibat syara’. Contohnya, seorang mukallaf mengerjakan shalat tidak terpenuhi syarat rukunnya, seperti shalat tanpa rukuk. Kewajiban mukallaf mengerjakan shalat tersebut belum gugur. Demikian pula kalau shalat dikerjakan tidak pada waktunya atau mengerjakannya tanpa wudhu. Perbuatan-perbuatan yang dikerjakan tidak sesuai dengan tuntutan Allah swt. dianggap tidak ada atau tidak mengerjakan apa-apa.

Erdogan: AS Dan Sekutunya Hanya Memerangi Kelompok Ekstrimis Yang “Islamis”


 

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyebut negara-negara Barat hanya memerangi kelompok teroris dan ekstrimis yang ada hubungannya dengan Islam.
Dalam rekaman yang banyak beredar di jejaring sosial video, Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang mengungkapkan kontradiksi negara Barat terhadap dunia Muslim, dan mengatakan “Barat tidak melawan kelompok teroris seperti PKK, karena mereka tidak Islamis dan tidak ada hubungannya dengan Islam, tidak seperti organisasi ISIS.”
“Di Turki ada kelompok ektrimis bernama PKK sejak 32 tahun yang lalu, senjata dan dana mereka berasal dari Eropa. Dan saya tidak mengerti mengapa Barat dan dunia internasional tidak pernah marah dan mengecam aksi teror mereka,” tambah Erdogan.
“Apakah Anda tahu mengapa? Karena PKK bukan bergerak atas nama Islam dan tidak ada hubungannya dengan agama Rahmatan Lil ‘Alamin,” tegas Erdogan. (Rassd/Ram)

IS Berjanji Akan Kibarkan Panji Hitam Di Gedung Putih AS


 

IS kembali menyebarkan video propaganda dimana kali ini seorang remaja berusia sekitar 17 tahun mengancam Inggris dan Amerika Serikat dan berjanji untuk mengibarkan bendera IS di Istana Buckingham dan gedung putih AS.
Remaja tersebut diketahui bernama Abdullah Meer, berkewarganegaraan Australia dan keturunan Lebanon. Ia diketahui menghilang dari rumahnya di Sydney, Australia, sejak akhir Juni lalu, setelah ia berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi memancing. Namun ternyata ia langsung pergi menuju Malaysia lalu ke Turki, kemudian menyeberangi perbatasan Suriah dan akhirnya bergabung dengan pejuang IS.
Remaja yang berambut pirang tersebut, yang dikenal dengan sebutan Abu khalis, menyampaikan pesannya kepada Obama dan Tony Abbott. Dan berjanji bahwa pertarungan tidak akan berhenti dan senjata mereka tidak akan habis, hingga sampai di tanah Amerika dan mengambil kepala setiap Tiran, lalu setelah itu akan mengibarkan bendera Hitam di atas wilayah masing-masing.
Sementara itu jaksa agung Australia mengatakan, ini adalah syategi menyesatkan para generasi Muda Australia. (hr/im)

Tahun Baru Hijriyah dan Tradisi Suro (Muharram)



Oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Hatede
Bulan Muharram adalah bulan awal tahun dalam penanggalan qamariyah (rembulan). Kumpulan dari 12 bulan qamariyah itu diawali dengan Muharram dan diakhiri dengan Dzuhijjah. Tahunnya disebut tahun Hijriyah. Penamaan tahun Hijriyah itu sejak zaman Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu.
Penanggalan qamariyah (rembulan) ini sangat erat hubungannya dengan ibadah dalam Islam, karena banyak ibadah yang berkaitan dengan tanggal qamariyah ini, seperti puasa selama bulan Ramadhan, Idul fithri pada 1 Syawal, Idul Adha 10 Dzulhijjah, hari tasyriq tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, bulan-bulan Haji (Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah dengan puncaknya hari Arafah 9 Dzulhijjah), bulan-bulan  haram (bulan mulia, tidak boleh berperang): Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram.
Semua ibadah yang dicontohkan ini ditentukan dalam Islam berkaitan dengan peredaran rembulan atau disebut syahrul qamariyah (bulan yang perhitungannya pakai rembulan). Adapun shalat lima waktu, maka ditentukan berkaitan dengan fajar, matahari, dan mega.
Perlu diketahui, penanggalan qamariyah itu di zaman jahiliyah pun sudah ada. Bahkan orang jahiliyah juga berhaji di Bulan Dzulhijjah. Hanya saja mereka membuat aturan yang jauh dari ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, hingga sebagian mereka thawafnya mengelilingi Ka’bah dengan telanjang.  Sebelum mereka berhaji, mereka beramai-ramai mendatangi lomba syair di pasar yang diadakan khusus menjelang musim haji. Yakni Dzulqa’dah hingga awal Dzulhijjah, setelah itu kemudian mereka ke Ka’bah. Dikenal ada 3 pasar: Ukadz (Okaz), Majinnah, dan Dzul Majaz. Para penyair jahiliyah berlomba syair di pasar itu, dan yang menang maka syairnya ditulis dengan tinta emas, dipasang di Ka’bah disebut al-mu’allaqat, yang digantungkan (di Ka’bah).
Ramainya Ka’bah yang didatangi orang dari mana saja inilah yang menjadikan dengki dan irinya Abrahah di Yaman. Maka dia membangun gedung Quailis untuk menyaingi Ka’bah, agar dihadiri banyak orang dari mana-mana. Namun gedung itu sebelum jadi sudah diberaki orang. Maka marahlah Abrahah, kemudian betandang mau mengamuk dan menghancurkan Ka’bah dengan tentara bergajah. Lalu Allah hancurkanlah Abrahah bersama tentaranya yang bergajah, yang diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Fiel. Tahun qamariyah saat itu disebut tahun gajah (al-fiel), tahun lahirnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bulan Rabi’ul Awwal tahun Al-Fiel (Gajah) tahun 571 Masehi. Jauh setelah itu, setelah Islam masuk ke Nusantara, lalu Rabi’ul Awwal di Jawa disebut Bulan Maulud (dilahirkan) yakni dilahirkannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi bulan qamariyah itu adanya bukan setelah datangnya Islam, tetapi sudah sejak sebelum Islam. Hingga dalam sejarahnya, kewajiban puasa Ramadhan itu mulai diwajibkan adalah pada tahun kedua Hijriyah. Artinya, sejak sebelumnya, nama bulannya sudah dinamai Ramadhan, baru pada tahun kedua Hijriyah lah mulai diwajibkan puasa Ramadhan. Maka para muballigh kini perlu hati-hati, jangan sampai pidato bahwa Ramadhan artinya membakar, yaitu membakar dosa. Yang sering dipidatokan orang seperti itu sebenarnya hanya otak atik gatuk (mengait-ngaitkan). Karena bulan Ramadhan itu sudah ada sejak zaman Jahiliyah bahkan mungkin sebelumnya. Walaupun artinya membakar, tetapi bukan dalil bahwa Ramadhan itu membakar dosa, karena nama Ramadhan itu sudah ada sebelum datangnya Islam. Kalau mau bicara soal dihapusnya dosa, ya harus merujuk dalil, di antaranya:

« مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ » . البخارى

Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala niscaya diampuni baginya dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Al-Bukhari)
Bulan qamariyah itu berbeda dengan bulan Januari sampai Desember yang perhitungannya pakai matahari. Panjang tahunnya, beda 11-an hari antara tahun qamariyah dan tahun syamsiyah (matahari). Karena bulan qamariyah hanya 29 atau 30 hari, sedang bulan syamsiyah 30 atau 31 hari, sedang Februari 28 atau 29 hari. Tahun syamsiyah biasanya disebut tahun Masehi. Di sinilah di antara kasih sayang Allah Ta’ala yang perlu disyukuri. Dengan adanya ibadah dikaitkan dengan bulan qamariyah itu maka ibadah haji yang setiap tahun umat Islam berkumpul di Ka’bah Makkah tidak terpatok hanya satu musim, misalnya selalu musim haji itu pada musim panas. Tidak. Dengan perbedaan setiap tahun 11-an hari antara bulan qamariyah dan syamsiyah itu  maka musim panas, dingin dan sebagainya bergeser pula mengikuti bulan syamsiyah, hingga misalnya musim haji tahun ini musim panas, tahun berikutnya akan bergeser, dan selanjutnya.
Dengan masuknya Islam di Nusantara, kemudian penanggalan Qamariyah yang tahunnya disebut Hijriyah itu masuk pula ke Jawa. Sedang bulan Syamsiyah (Januari sampai Desember) tidak masuk ke penanggalan Jawa. Sehingga perhitungan tahun Jawa dihitung dengan penanggalan bulan qamariyah/ Arab Islam.
Yang jelas, penamaan bulannya mengikuti bulan qamariyah, hanya saja kadang berubah ucapannya (sesuai logat Jawa) dan kadang dikaitkan dengan apa yang dianggap sebagai peristiwa pada bulan itu.
Nama-nama Bulan Qamariyah ketika dijawakan jadi begini:
  1. Muharram –Suro/ Sura (mungkin karena ada puasa sunnah pada hari kesepuluh Muharram, hari ‘Asyura).
  2. Shafar –Sapar
  3. Rabi’ul Awwal- Mulud (mungkin karena ada muludan, maulidan, acara bikinan yang tidak ada tuntunannya dalam Islam).
  4. Rabi’uts Tasni/ Akhir- Bakda Mulud (setelah bulan Mulud).
  5. Jumadal Ula- Jumadil awal
  6. Jumadal Tsaniyah/ Akhir- Jumadil akhir
  7. Rajab-Rejeb
  8. Sya’ban- Ruwah (mungkin berkaitan dengan kepercayaan entah dari mana, dikaitkan dengan roh).
  9. Ramadhan- poso/pasa (puasa)
  10. Syawal-syawal
  11. Dzulqa’dah- Dulkaidah
  12. Dzulhijjah-Besar (mungkin dari lafal al-ahajjul akbaru, haji Besar).
Sebenarnya berkaitan dengan nama-nama bulan itu tidak ada ibadah/ritual apa-apa kecuali bila ada perintah dari Allah Ta’ala lewat rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pergantian bulan juga tidak ada ibadah khusus, kecuali bila ada dalil dari Qur’an dan sunnah. Sehingga, pergantian tahun pun tidak ada ibadah tertentu, dan ternyata memang tidak ada perintah dalam Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu, bila ada yang merayakan tahun baru qamariyah yakni Tahun Hijriyah, maka perlu ditanyakan, siapa yang menyuruhnya?
Yang berhak menyuruh hanyalah Allah Ta’ala. Dan kalau Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam menyuruh, berarti mendapat perintah dari Allah Ta’ala.
.

Kreasi berkaitan dengan hari, tanggal, bulan, dan tahun

Kreasi berkaitan dengan hari, tanggal, bulan, dan tahun ada juga di Jawa.
Setiap 8 tahun ada sebutan sendiri, namanya sewindu. Nama-nama tahun Jawa yakni: Alif, Ehe, Jim awal, Je, Dal, Be, Wawu, Jim Akhir. Dari tahun Alif sampai Jim Akhir itu 8 tahun, disebut sewindu.
Sedang untuk nama hari, sepekan hanya 5 hari disebut hari pasaran: Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Dari nama hari itu ada sindiran yang unik: Pahing kepesing, Pon ora kambon. Artinya: Pada Hari Pahing (mendapat rejeki atau keuntungan atau panenan yang banyak hingga) kepesing (terberak-berak), namun besuk harinya, Pon, sudah ora kambon, baunya pun sudah tidak mendapatkannya, sudah habis sama sekali. Itu sindiran untuk orang yang sangat boros.
Dengan adanya nama hari pasaran (sepekan lima hari) itu tadi, maka ada yang disebut selapan, 35 hari. Yaitu bertemunya lagi hari mingguan (Senin-Ahad) dengan hari pasaran (Pahing-Legi). Misalnya anak lahir Hari Kamis Kliwon, maka Kamis Kliwon berikutnya itu disebut selapan, 35 hari. Itu sangat mudah bagi dukun bayi, sang ibu bayi dan bapak bayi untuk mengingatnya. Kenapa, karena pada hari ke-35 (yang sudah diingat bahwa itu hari Kamis Kliwon) itu lalu dukun bayi memijat ibu bayi dengan pijatan khusus agar segera bergairah dalam melayani suami. Sang isteri pun sudah siap-siap, sedang suami pun demikian. Bahkan dukun bayi yang lihai, menawarkan apakah sang ibu bayi ingin dipijat khusus yang namanya walik (dibalik). Konon pijatan itu untuk membalik wadah bayi (rahim) agar dalam jangka sekian baru bisa hamil lagi. (Wah, jadi ngelantur, dan entah benar entah tidak, itu hanya pernah dengar promosi dari dukun bayi lho… maaf).
Kalau begitu, mari kita cari contoh yang lain saja. Dengan adanya apa yang disebut selapan (35 hari) itu, pembagian jadwal pengajian, khutbah dan sebagainya, pakai cara periode selapan itu cukup mudah. Misalnya Pak Modin khutbahnya di Masjid Kampung A tiap Jum’at Legi, maka khatib dan jamaah mudah hafal bahwa dia khutbahnya di sini tiap Jum’at Legi. Baru-baru ini saya diundang untuk menjelaskan tentang sesatnya Syiah di suatu daerah di Jawa. Pemimpinnya mengatakan, ini pengajian untuk para pimpinan Muhammadiyah setempat (sekecamatan) dalam bentuk pengajian lapanan (tiap 35 hari) yaitu tiap Jum’at Wage.
Ini artinya, nama hari Jum’at pakai Wage itu bukan milik Kejawen, tapi umum. Jadi ketika Muhammadiyah atau lembaga-lembaga Islam memakai hari pasaran Pahing Pon dsb itu, bukan berarti mereka itu mengikuti Kejawen. Demikian pula pasar-pasar di Jawa yang ramainya hari-hari tertentu, misalnya pasar A tiap Pahing ramai, Pasar B, hanya tiap Legi dan sebagainya, itu bukan karena mengikuti kejawen, tapi hari pasaran itu milik umum.
Celakanya, ketika hari-hari itu kemudian dikaitkan dengan perdukunan dan keyakinan-keyakinan batil, maka di situlah celakanya, karena kesesatannya lebih mengakar dan sulit diubah. Misalnya setiap Jum’at Kliwon, kuburan Anu di Surabaya didatangi berbondong-bondong orang dari mana-mana. Tahu-tahu ada da’i yang jauh-jauh dari Timur Tengah mau berdakwah di Masjid al-Akbar Surabaya beberapa tahun yang lalu, jamaahnya tidak banyak. Ketika ditanya-tanyakan kenapa bisa begitu? Ternyata jawab orang, karena sekarang Jum’at Kliwon. Apa hubungannya dengan Jum’at Kliwon? Karena orang-orang banyak yang sedang ke kuburan Anu… jadi banyak juga orang yang biasanya Jum’atan di sini, mereka ikut pula ke sana…
Demikianlah. Hari, tanggal, bulan, dan tahun ketika dipercayai dengan kepercayaan batil, maka kebatilan itu melekatnya lebih erat. Padahal, sebenarnya Islam ini sudah sempurna ajarannya, termasuk menyangkut hari, tanggal, dan bulan; seperti yang sudah dijelaskan tersebut di atas contoh-contohnya. Namun ketika manusia ini membuat-buat keyakinan sendiri tanpa merujuk dalil yang shahih, maka hari yang biasa-biasa saja pun dijadikan luar biasa, dengan aneka kaitannya. Bahkan sebagian desa ada yang punya pantangan, tiap hari tertentu misalnya Sabtu Legi tidak boleh ini dan itu. Bila berani melanggarnya, maka mereka mempercayai, akan kena bala’. Astaghfirullahal ‘adhiem, mereka membuat-buat kesialan sendiri tanpa dasar dalil yang jelas.
Demikian pula, hanya ada pergantian tahun saja lalu diadakan aneka macam ritual yang mengandung keyakinan yang bahkan mungkin berbahaya bagi keimanan. Inilah di antara contohnya.
Malam 1 Muharram atau 1 Suro
Tahun Baru Hijriyah, awal bulan Muharram. Bulan Muharram disebut bulan Suro dalam istilah Jawa. Kemungkinan istilah Suro diambil dari ‘Asyura (hari ke sepuluh). Di dalam ajaran Islam, memang disyariatkan menjalankan puasa ‘Asyura di bulan Muharram yaitu tanggal 10 Muharram, dan lebih baiknya dengan tanggal 9, agar menyelisihi Yahudi yang memperingati tanggal 10 Muharram itu karena mereka selamat dari Fir’aun. Di dalam Islam, tidak ada perayaan yang aneh-aneh, apalagi bermuatan syirik kepada Alah, bermuatan kemunkaran dan sebagainya.
Oleh sebagian orang, malam 1 Muharram atau malam 1 Suro diisi dengan berbagai kegiatan yang tidak dituntunkan oleh Islam, bahkan kemungkinan bisa menghancurkan keimanan. Misalnya, masyarakat Kaliurang Jogjakarta mengisi malam 1 Suro dengan menggelar kirab Topo Bisu, yaitu mengelilingi seluruh kawasan wisata di Kaliurang, tanpa bicara sedikit pun seraya mengucapkan doa (permohonan) di dalam hati. Peserta kirab, yang jumlahnya ratusan itu, berbusana Jawa lengkap dengan pernak-pernik khas Jawa.
Di Keraton Kasunanan Surakarta, pada malam 1 Suro tahun lalu, dirayakan dengan menggelar kirab pusaka dengan mengarak Kebo Kyiai Slamet. Kala itu, Keraton Surakarta  hanya mengarak empat ekor kebo bule Kyai Selamet, sebab sebagian kebo ngambek dan lainnya mengamuk. Akibat, kejadian ini, warga Solo menyimpulkan ngambeknya kebo tersebut pertanda akan terjadi sesuatu di tanah Jawa. (Ini kepercayaan tathayyur, menganggap suatu kejadian diyakini sebagai perlambang akan datangnya sial. Itu dilarang dalam Islam).
Masyarakat Jogjakarta, mengisi malam 1 Suro dengan melakukan tirakat Mubeng Beteng (memutari benteng) Keraton Yogyakarta sebanyak tujuh kali tanpa bicara. Itu merupakan salah satu tirakat, salah satu laku (amalan) yang dipercaya dapat menyingkirkan marabahaya yang akan menimpa Jogjakarta.
Bagi masyarakat Jogja yang memiliki benda pusaka (seperti keris, tombak, wesi aji, dan sejenisnya), pada saat itu mengkhususkan diri memandikan atau mencuci (njamasi) benda-benda pusaka tadi dengan air kembang setaman. Karena, mereka percaya benda-benda pusaka tadi memiliki kekuatan supranatural.
Di kawasan Parangtritis, Kabupaten Bantul, setiap malam satu Suro, sejumlah masyarakat memadati kawasan itu, khususnya di sekitar Puri Parangkusumo untuk memanjatkan doa (permohonan), entah kepada siapa. Puri Parangkusumo dipercaya sebagai tempat pertemuan asmara antara Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram Islam) dan Nyi Roro Kidul. Di tempat ini digelar ritual khusus bagi mereka yang percaya tentang masalah kejawen (ilmu kebatinan).
Malam 1 Suro bagi masyarakat Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, diisi dengan melakukan ritual sedekah di Gunung Merapi (Sedekah Merapi), berupa mempersembahkan kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi kepada leluhur Kyai/Nyai Singomerjoyo, Kyai/Nyai Simbarjaya, Nyai Gadung Melati (penunggu kawasan Pasar Bubrah) dan Kyai Petruk (penguasa seluruh Merapi).Tujuannya, agar Gunung Merapi tidak marah lagi dengan letusannya. Ritual ini dilengkapi pula dengan melantunkan shalawat dan memanjatkan doa berbahasa Arab (secara Islam?). Bersamaan dengan itu, kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi sebagai materi sedekah pun dibawa ke kawah Merapi dan dilabuh di sana. Meski ada lantunan shalawat dan doa berbahasa Arab, namun demikian tradisi ini tidak lepas dari dosa berbuat syirik (dosa paling besar) kepada Allah dan dosa berupa perbuatan tabzir.
Berebut Air Jamasan
Setiap malam 1 Suro di Pendopo Pura Mangkunegaran, Surakarta, Jawa Tengah, dilakukan ritual memandikan (mencuci) pusaka milik Pura Mangkunegaran. Pusaka itu berwujud Tombak dan Joli(sebuah rumah-rumahan kecil berisi pakaian milik Mangkunagoro I atau Raden Mas Said), yang dipanggul empat orang prajurit Mangkunegaran.
Pusaka tersebut dibawa dengan cara dikirabkan (semacam pawai) mengelilingi Pura Mangkunegaran dengan ikuti para kerabat Mangkunegaran, abdi dalem dan masyarakat lainnya, sambil menerapkan “laku bisu” (sama sekali tidak bicara), sebagai wujud keprihatinan terhadap kondisi negara saat ini. Tujuannya, untuk mendapatkan keselamatan sekaligus dalam rangka tolak bala’.
Bersamaan dengan itu, sejumlah abdi dalem menyebarkan bungkusan nasi kepada ribuan orang yang mengikuti ritual tersebut. Mereka saling berebutan, karena diyakini siapa saja yang mendapatkan bungkusan nasi tersebut akan mendapatkan banyak berkah dan diberi kemurahan rezeki.
Benda pusaka tadi dicuci atau dimandikan atau dijamas dengan air bercampur bunga. Air sisa mencuci benda pusaka tadi, atau biasa disebut air jamasan, diperebutkan oleh ribuan warga masyarakat yang percaya bahwa air dan bunga sisa jamasan tadi dapat membawa berkah.
Ritual tersebut berlangsung pada 28 Desember 2008 (malam 1 Suro), sekitar pukul 19:00 waktu setempat.
Rebutan air jamasan juga terjadi di Jogjakarta. Menurut pemberitaan detknews edisi Jumat, 02/01/2009 13:27 WIB, ratusan warga berebutan air sisa jamasan (pencucian) kereta pusaka Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Berbeda dengan di Solo yang ritual mencuci benda pusakanya berlangsung pada malam 1 Suro, di Jogja ritual mencuci benda pusaka berlangsung pada hari Jumat tanggal 2 Januari 2009, bertepatan dengan tanggal 5 Suro (hari pasaran Jumat Kliwon) tahun 1942 berdasarkan penanggalan Jawa.
Benda pusaka (kereta pusaka Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat) yang dijamas adalah keretautama yang diberi nama Kanjeng Nyai Jimat, dan satu buah kereta pengiringnya. Pada masanya, kereta utama buatan Belanda pada pertengahan abad 18 tersebut, boleh jadi merupakan barang mewah. Kalau dikiaskan dengan masa sekarang, barangkali setara dengan mobil mewah Jaguar, Mercedes Benz atau Volvo. Barang mewah itu merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jacob Mossel) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Maksudnya, untuk dijadikan kendaraan utama para sultan tersebut.
Kalau saja saat itu sudah ada KPK, mungkin Sri Sultan sudah diseret KPK karena menerima hadiah barang mewah, dari penjajah pula. Hadiah yang diberikan penjajah tentu bukan tanpa maksud. Pasti ada tujuan-tujuan berupa mengekalkan kolonialisme di Nusantara. Siapapun yang menerima hadiah dari penjajah untuk mengekalkan kolonialisasi di daerah jajahannya, layak disebut sebagai pengkhianat.
Seandainya Jacob Mossel masih hidup dan melihat barang mewah yang dihadiahkannya kepada Sultan masih terawat, mungkin ia akan merasa senang. Tetapi, ketika ia melihat benda itu diperlakukan sebagai benda bertuah, bahkan air cuciannya diperebutkan banyak orang, mungkin ia akan tertawa terkekeh-kekeh melihat betapa bodohnya bangsa koeli van Jogja ini.
Boleh jadi Jacob Mossel juga akan terheran-heran dan bertanya-tanya, apakah tidak ada orang berpendidikan di nusantara ini, sehingga perilaku bodoh yang merendahkan martabat bangsa terus berlangsung tanpa ada yang memberi pencerahan sama sekali?
Kenyataannya, perilaku bodoh yang merendahkan martabat bangsa, bahkan menghancurkan keimanan itu justru diagung-agungkan sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang luhur dan harus dilestarikan. Padahal, bangsa lain sudah mampu menciptakan pesawat terbang,  berbagai jenis mobil, dan mampu membangun budaya disiplin yang tinggi, eh…, bangsa kita boro-boro bikin mobil, disuruh sabar mengantre saja tidak bisa, disuruh tertib berkendaraan saja tidak bisa, bahkan air jamasan (bekas cucian) kereta kuda  saja diperebutkan, dan dijadikan objek wisata, dibiayai pula oleh pemerintah.
Ramai-ramai mengusung kemusyrikan
Kalau sudah seperti itu maka berbagai elemen, dari penguasa, seniman, budayawan, pelaku adat, dan pengelola media massa secara beramai-ramai mengusung kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang merusak iman, atas nama adat, tradisi, dan budaya. Pada dasarnya mereka kalau mengaku beragama Islam (dan itu memang mayoritas, karena penduduk Indonesia ini mayoritas Muslim, termasuk pejabatnya pula) maka mereka jelas-jelas mlenteti (tidak mentaati sambil masih pula bernada meremehkan) Allah Ta’ala, yang telah memberikan segalanya: hingga mereka bisa hidup, bahkan punya jabatan, berpangkat, bisa jalan-jalan ke sana sini, tertawa-tawa dan sebagainya; namun Allah Ta’ala yang Maha Pemurah itu bukan dibalas dengan rasa syukur, justru diplenteti.
Mana buktinya?
Buktinya, mereka telah melanggar aturan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyuruh manusia ini untuk bertolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Sebaliknya, melarang bertolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.

 وَتَعاَوَنُوْا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ اْلاِثْمِ واَلْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلِعقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maaidah: 2).
Di kala manusia tolong menolong dalam keburukan, maka telah dikecam oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:

اْلمُنَافِقُوْنَ وَاْلمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ اْلمَعْرُوْفِ وَيَقْبِضُوْنَ أَيْدَيْهِمْ نَسُوْا  الله فَنَسِيَهُمْ إِنَّ اْلمُنَافِقِيْنَ هُمُ اْلفَاسِقُوْنَ

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya[berlaku kikir]. mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah/ 9: 67).

Resensi Buku : Tafsir Ibnu Abbas, Tafsir Tertua, Bahkan Imam Ahmad bin Hambal pun Mencari Tafsir ini


 Inilah tafsir tertua di jagat ini yang ditulis dan dibukukan. Ia berisi tafsir ayat ayat Al Quran yang disusun sesuai dengan urutan surah dalam Mushaf. Ia berasal dari pakar dan dikumpulkan oleh pakar.
Ibnu Umar (sahabat yang terkenal kezuhudannya) berkata,” Ibnu Abbas adalah umat Muhammad yang paling mengetahui apa yang diturunkan kepada Muhammad”
Ibnu Abbas adalah seorang sahabat yang pernah Rasulullah SAW tepuk dadanya lalu mendoakannya, “Ya Allah, ajarkanlah dia al Hikmah!” Bahkan, Malaikat Jibril AS (Pemimpin para malaikat Allah) pernah mewasiatkan kepadanya,” Sesungguhnya dia adalah tinta umat, maka mintalah nasihat yang baik kepadanya.”
Tidak seorang pun sahabat yang diberi gelar “Lautan ilmu” kecuali Ibnu Abbas, hingga Ali bin Abi Thalib (Sahabat yang dijuluki kunci gudang ilmu) berkata,” Dia seolah olah melihat yang ghaib dari balik tabir yang tipis.”
Dalam hal ini, Abdullah Ibnu Mas’ud (Sahabat yang paling ahli dalam hal fikih dan didoakan oleh Rasul akan mahir dalam hal hikmah dan 70 surah dari lisan Rasul) berkomentar,  ”Benar, juru bahasa Al Quran adalah Abdullah bin Abbas.”
Tak hanya itu, Umar bin Khattab (Khalifah yang cerdas dan penuh Ijtihad) juga angkat hormat kepadanya dan memilihnya, sekalipun waktu itu masih muda, “ Aku tidak mengetahui makna ayat yang kutanyakan, kecuali seperti yang kamu katakan.”
Imam Ahmad bin Hambal berkata,” Di Mesir terdapat lembaran tafsir yang diriwayatkan oleh Ali Bin Abi Thalhah. Jika ada orang yang bepergian ke negeri itu, maka banyak di antara mereka yang mencari tafsir tersebut. Itulah yang dikumpulkan oleh Ali Bin Abi Thalhah, sebuah kumpulan tafsir dari Abdullah bin Abbas, lalu menjadi sebuah kitab yang sangat pantas untuk di baca, dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan kita…
Imam Ahmad Bin Hambal saja mencari dan berjibaku mendapatkan tafsir Abdullah Bin Abbas ini…Bagaimana dengan kita..?
Judul buku : Tafsir Ibnu Abbas
Karya : Abdullah Ibnu Abbas
Penerbit : Pustaka Azzam
Harga : Rp 165.000,- (Belum termasuk ongkos kirim)

Untuk pemesanan hubungi atau sms/email dengan dituliskan nama, alamat dan jumlah pemesanan ke: 085811922988 email : marketing@eramuslim.com

Tuesday, October 21, 2014

Biografi Imam Syafi'i


 
Nama lengkap: Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi'i Al-Muttalibi Al-Qurashi
Nama gelar kehormatan: Alimul Ashr, Nashirul Hadits, Imam Quraish, Al-Imam Al-Mujaddid, Faqihul Millah
Tempat lahir: Gaza, Palestina. 
Tanggal lahir: tahun 767 M / 150 H.
Wafat: Akhir malam Rajab tahun 820 M / 204 H.
Tempat wafat: Kairo, Mesir.
Aliran Islam: Ahlussunnah Wal Jamaah
Ayah: Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muttalib bin Abdu Manaf.
Ibu: Fatimah binti Abdullah Al-Uzdiyah.
Putra: Abu Utsman dan Abul Hasan
Putri: Fatimah dan Zainab


Nasab dari pihak ayah.

Ayahnya bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi` bin Sa`ib bin Abid bin Abu Yazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf bin Qusayyi bin Kilab bin Murrah, nasab beliau bertemu dengan Rasulullah saw. pada Abdu Manaf bin Qusayyi.


Nasab dari pihak Ibu.

Ibnunya bernama Fatimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi`i.


Kelahiran Imam Syafi`i.

Dia dilahirkan pada tahun 150 H. bertepatan dengan dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Dia dilahirkan di desa Ghazzah, Asqalan. Ketika usianya mencapai dua tahun, ibunya mengajak pindah ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Lalu keduanya menetap di sana. Akan tetapi saat usianya telah mencapai sepuluh tahun, ibunua mengajak pindah ke Makkah lantaran khawatir akan melupakan nasabnya.


Jenjang Pendidikan Imam Syafi`i.

Imam Syafi`i sejak kecil hidup dalam kemiskinan, pada waktu dia diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak memperoleh upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran. Akan tetapi setiap kali seorang guru mengajarkan sesuatu pada murid-murid, terlihat Syafi`i kecil denga ketajaman akal pikiran yang dimilikinya mampu menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, Syafi`i kecil mengajarkan kembali apa yang dia dengar dan dia pahami kepada anak-anak yang lain, sehingga dai apa yang dilakukan Syafi`i kecil ini mendapatkan upah. Sesudah usianya menginjak ke tujuh, Syafi`i telah berhasil menghafal al-Qur`an dengan baik. 

Imam Syafi`i bercerita: “Saat kami menghatamkan al-Qur`an dan memasuki masjid, kami duduk di majlis para ulama. Kami berhasil menghafal beberapa hadits dan beberapa masalah Fiqih. Pada waktu itu, rumah kami berada di Makkah. Kondisi kehidupan kami sangat miskin, dimana kami tidak memiliki uang untuk membeli kertas, akan tetapi kami mengambil tulang-tulang sehingga dapat kami gunakan untuk menulis.”

Pada saat menginjak usia tiga belas tahun, dia juga memperdengarkan bacaan al-Qur`an kepada orang-orang yang berada di Masjid al-Haram, dia memiliki suara yang sangat merdu. Suatu ketika Imam Hakim menceritakan hadits yang berasal dari riwayat Bahr bin Nashr, bahwa dia berkata: “Jika kami ingin menangis, kami mengatakan kepada sesama teman “Pergilah kepada Syafi`i !” jika kami telah sampai dihadapannya, dia memulai membuka dan membaca al-Qur`an sehingga manusia yang ada di sekitarnya banyak yang berjatuhan di hadapannya lantaran kerasnya menangis. Kami terkagum-kagum dengan keindahan dan kemerduan suaranya, sedemikian tinggi dia memahami al-Qur`an sehingga sangat berkesan bagi para
pendengarnya.


Guru-guru Imam Syafi`i.

1. Muslim bin Khalid al-Zanji, seorang Mufti Makkah pada tahun 180 H. yang bertepatan dengan tahun 796 M. dia adalah maula Bani Mkhzum.
2. Sufyan bin Uyainah al-Hilali yang berada di Makkah, dia adalah salah seorang yang terkenal kejujuran dan keadilannya.
3. Ibrahim bin Yahya, salah satu ulama di Madinah.
4. Malik bin Anas, Imam Syafi`i pernah membaca kitab al-Muwatha` kepada Imam Malik sesudah dia menghafalnya diluar kepala, kemudian dia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat pada tahun 179 H. bertepatan dengan tahun 795 M.
5. Waki` bin Jarrah bin Malih al-Kufi.
6. Hammad bin Usamah al-Hasyimi al-Kufi
7. Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Bashri.


Isteri Imam Syafi`i.

Dia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hamidah binti Nafi` bin Unaisah bin Amru bin Utsman bin Affan.


Keistimewaan Imam Syafi`i.

1. Keluasan ilmu pengetahuan dalam bidang sastera serta nasab, yang sejajar dengan al-Hakam bin Abdul Muthalib, dimana Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Keturunan (Bani) Hasyim dan keturunan (Bani) Muthalib
itu hakekatnya adalah satu.” (H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang Wasiat, bab “Qismah al-Khumus,”
hadits no. 2329.)

2. Kekuatan menghafal al-Qur`an dan kedalaman pemahaman antara yang wajib dan yang sunnah, serta kecerdasan terhadap semua disiplin ilmu yang dia miliki, yang tidak semua manusia dapat melakukannya.

3. Kedalaman ilmu tentang Sunnah, dia dapat membedakan antara Sunnah yang shahih dan yang dha`if. Serta ketinggian ilmunya dalam bidang ushul fiqih, mursal, maushul, serta perbedaan antara lafadl yang umum dan yang khusus.

4. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Para ahli hadits yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah tidak diperdebatkan sehingga kami bertemu dengan Imam Syafi`i. Dia adalah manusia yang paling memahami kitab Allah swt. dan Sunnah Rasulullah saw. serta sangat peduli terhadap hadits beliau.

5. Karabisy 2 berkata: Imam Syafi`i adalah rahmat bagi umat Nabi Muhammad saw. (Karabisy dinisbatkan pada profesi penjual pakaian, namanya adalah Husain bin Ali bin Yazid.)

6. Dubaisan (Namanya adalah Abu Dubais bin Ali al-Qashbani) berkata: Kami pernah bersama Ahmad bin Hambal di Masjid Jami` yang berada di kota Baghdad, yang dibangun oleh al-Manshur, lalu kami datang menemui Karabisy, lalu kami bertanya: Bagaimana menurutmu tentang Syafi`i ? kemudian dia menjawab: Sebagaimana apa yang kami katakan bahwa dia memulai dengan Kitab (al-Qur`an), Sunnah, serta ijma` para ulama`. Kami orang-orang terdahulu sebelum dia tidak mengetahui apa itu al-Qur`an dan Sunnah, sehingga kami mendengar dari Imam Syafii tentang apa itu al-Qur`an Sunnah dan ijma`. Humaidi berkata: Suatu ketika kami ingin mengadakan perdebatan dengan kelompok rasionalis kami tidak mengetahui bagaimana cara mengalahkannya. Kemudian Imam Syafi`i datang kepada kami, sehingga kami dapat memenangkan perdebatan itu. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Kami tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandapai dalam bidang fiqih (faqih) terhadap al-Qur`an daripada pemuda quraisy ini, dia adalah Muhammad bin Idris al-Syafi`i.

7. Ibnu Rahawaih pernah ditanya: Menurut pendapatmu, bagaimanakah Imam Syafii dapat menguasai al-Qur`an dalam usia yang masih relatif muda? lalu dia menjawab: Allah swt. mempercepat akal pikirannya lantaran usianya yang pendek.

8. Rabi` berkata: Kami pernah duduk bersama di Majelisnya Imam Syafi`i setelah beliau meninggal dunia di Basir, tiba-tiba datang kepada kami orang A`rabi (badui). Dia mengucapkan salam, lalu bertanya: Dimanakah bulan dan matahri majleis ini ? lalu kami mejawab: Dia telah wafat. Kemudian dia menangis lalu berkata: Semoga Allah swt. memncurahkan rahmat dan mengampuni semua dosanya. Sungguh beliau telah membuka hujjah yang selama ini tertutup, telah merubah wajah orang-orang yang ingkar dan juga telah membuka kedok mereka, dan juga telah membuka pintu kebodohan
disertai penjelasannya, lalu tidak beberapa lama orang badui itu pergi.


Sikap Rendah Hati yang dimiliki Imam Syafi`i.

Hasan bin Abdul Aziz al-Jarwi al-Mishri mengatakan, bahwa Imam Syafii pernah berkata: Kami tidak menginginkan kesalahan terjadi pada seseorang, kami sangat ingin agar ilmu yang kami miliki itu ada pada setiap orang dan tidak
disandarkan pada kami. Imam Syafi`i berkata: Demi Allah kami tidak menyaksikan seseorang lalu kami menginginkan kesalahan padanya. Tidaklah bertemu dengan seseorang melainkan kami berdo`a “Ya Allah, jadikanlah kebenaran ada pada hati dan lisannya ! jika kebenaran berpihak kepada kami, semoga dia mengikuti kami, dan jika kebenaran berpihak kepadanya semoga kami mampu mengikutinya. Imam Syafii adalah Pakar Ilmu Pengetahuan dari Quraisy. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Jika kami ditanya tentang satu masalah dan kami tidak mengetahuinya, maka kami menjawab dengan menukil perkataan Syafi`i, lantaran dia seorang imam besar yang ahli dalam ilmu pengetahuan yang berasal dari kaum Quraisy. Dalam suatu hadits diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: “Orang alim dari Quraisy ilmunya akan memenuhi bumi.” (Manaqib karya Imam Baihaqi, juz 1, hlm. 45.)

Ar-Razi berkata: Kriteria orang orang yang disebutkan di atas ini akan terpenuhi apabila seseorang memiliki kriteria sebagai berikut : Pertama; berasal dari suku Quraisy. Kedua; memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas dari kalangan ulama. Ketiga; memiliki ilmu pengetahuan yang luas, dan dikenal oleh penduduk Timur dan Barat. Benar kriteria di atas hanya terdapat pada diri Imam Syafi`i, dia adalah seorang ahli ilmu pengetahuan yang berasal dari suku Quraisy.
Berikut beberapa hadits yang berkaitan dengan hal di atas.

1. Riwayat dari Ibnu Mas`ud bahwa dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian mencaci maki suku Quraisy, karena sesungguhnya ahli ilmu di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah ya Tuhan kami, Engkau telah menimpakan azab yang terdahulu dari mereka, maka anugerahkan nikmat-Mu yang terakhir dari mereka.” (5 . H.R. Abu Daud Thabalasi dalam kitab Musnad-nya, hlm. 39-40.)

2. Riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda : Ya Allah tunjukkanlah orang-orang Quraisy, karena”
sesungguhnya orang alim di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan azab kepada mereka, maka berikanlah (Khatib, dalam Tarikh, juz 2, hlm. 61.) juga Ni`mat-Mu atas mereka.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali

3. Dia adalah orang Quraisy dari Bani al-Muthalibi, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muthalib adalah adalah satu.” Lalu Rasulullah saw. merapatkan jari tangannya. (H.R. Sunan Kubra, juz 6, hlm. 340.)
Selanjutnya Rasulullah saw. kembali bersabda : “Sesungguhnya Allah swt. mengutus untuk umat ini pada setiap setiap
seratus tahun seseorang yang memperbaharui agama-Nya.” (8 . Al-Mustadrak, juz 4, hlm. 522, dan Khatib dalam Tarikh, juz 2, hlm. 61.)


Anak-anak Imam Syafi`i.

1. Abu Usman Muhammad, dia seorang hakim di kota Halib, Syam (Syiria).
2. Fatimah.
3. Zainab.


Imam Syafi`i ke Mesir.

Imam Syafi`i datang ke Mesir pada tahun 199 H. atau 814/815 M. pada masa awal khalifah al-Ma`mun, lalu dia kembali ke Baghdad dan bermukim di sana selama satu bulan, kemudian dia kembali lagi ke Mesir. Dia tinggal di sana sampai akhir hayatnya pada tahun 204 H. atau 819/820 M.


Kitab-kitab Karya Imam Syafi`i.

1. Al-Risalah al-Qadimah (kitab al-Hujjah)
2. Al-Risalah al-Jadidah.
3. Ikhtilaf al-Hadits.
4. Ibthal al-Istihsan.
5. Ahkam al-Qur`an.
6. Bayadh al-Fardh.
7. Sifat al-Amr wa al-Nahyi.
8. Ikhtilaf al-Malik wa al-Syafi`i.
9. Ikhtilaf al- Iraqiyin.
10. Ikhtilaf Muhammad bin Husain.
11. Fadha`il al-Quraisy
12. Kitab al-Umm
13. Kitab al-Sunan


Wafatnya Imam Syafi`i.

Beliau menderita penyakit ambeien pada akhir hidupnya, sehingga mengakibatkan beliau wafat di Mesir pada malam Jum`at sesudah shalat Maghrib, yaitu pada hari terakhir di bulan Rajab. Beliau di makamkan pada Hari Jum`at pada tahun 204 H. bertepatan tahun 819/820 M. makamnya berada di kota Kairo, di dekat masjid Yazar, yang berada dalam lingkungan perumahan yang bernama Imam Syafi`i.